Nenek Sulfah

Bertahan di Titik Nadir

Artikel Pro P2KPM

Pada era 80-an, daun nipah banyak digunakan untuk dijadikan atap rumah oleh warga. Hal ini dilandasi pada kearifan lokal yang mengacu pada harga murah dan jumlahnya pun melimpah.

Namun seiring dengan kemajuan zaman yang semakin modern, kemudian sebagian besar masyarakat beralih menggunakan atap berbahan seng, karena dianggap lebih ekonomis dan tahan lama.

Meski demikian, saat ini masih ada beberapa perajin atap daun nipah yang menjadikan sebagai sumber penghidupan, salah satunya adalah warga RT 12, Kelurahan Petung, Kecamatan Penajam.

Perajin itu adalah nenek Sulfah (60 tahun). Ia telaten mengais daun nipah yang banyak tumbuh di bantaran Sungai Tunan atau daerah aliran sungai (DAS) Tunan.

Daun nipah yang ia ambil di kawasan itu kemudian diolah menjadi atap. Ia masih bertahan dengan profesi ini karena selain untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga juga karena tidak adanya keterampilan lain.

Ia masih terus membuat atap daun nipah, meski jumlah pembelinya tidak sebanyak dulu, karena saat ini relatif sedikit warga yang menggunakan daun nipah sebagai atap rumah.

“Kalau dulu jumlah pemesannya banyak. Terus permintaannya bisa lebih dari 100 lembar atap per hari. Tapi sekarang rata-rata hanya 20 lembar per hari,” tutur Sulfah sedih.

Sementara untuk harga jual atap daun nipah sangatlah murah, hanya Rp3 ribu per lembar atau  satu ikat yang berisi 10 lembar seharga Rp30 ribu, sehingga dalam satu hari ia hanya mampu mengantongi Rp60 ribu.

Atap daun nipah, lanjutnya, kebanyakan tidak digunakan warga untuk atap di pemukiman penduduk, namun hanya digunakan untuk atap kandang ayam maupun untuk atap pondok di daerah persawahan maupun perkebunan.

Penurunan permintaan pasar atap daun nipah ini, lanjut dia, makin terasa di masa pandemi COVID-19, sehingga pendapatan perajin terus menurun, yakni dari awalnya yang bisa laku 100 lembar per hari, turun menjadi sekitar 50 lembar per hari, hingga kini hanya 20 lembar per hari.

Bukan hanya Sulfah yang menggantungkan nasibnya di DAS Tunan, masih ada beberapa warga lainnya yang juga bernasib sama, namun mereka sangat sulit beralih profesi karena tidak memiliki keterampilan lain.

Untuk itu, perempuan renta ini berharap adanya bantuan dari pihak terkait untuk mencetak keterampialan agar ekonomi keluarga terdongkrak, seperti pelatihan yang cocok bagi warga seusianya dan hasilnya laku dijual. (Astriani)